SISTIM VULKANIS
Ada
beberapa factor yang mempengaruhi karakteristik atau perilaku erupsi
diantaranya : (1) sifat magma termasuk komposisi kimia, kekentalan,
kandungan gas dan air, (2) struktur dan dimensi pipa saluran magma dan
(3) posisi serta volume kantong magma yang menentukan besarnya pasokan.
Besarnya suplai magma dari zona yang lebih dalam adalah motor utama dari
aktivitas vulkanis dan yang membuat sistim vulkanis berjalan. Suplai
magma Merapi dari kedalaman terkait dengan sistim tektonik yaitu
subduksi oleh tumbukan antara lempeng samudera Indo-australia dan
lempeng benua Asia. Dalam zona subduksi, pada kedalaman antara 60-150
km, terjadi pelelehan karena tekanan dan suhu tinggi. Pelelehan tersebut
memproduksi magma asal, disebut juga magma primitif. Kedalaman zona
pelelehan, tingginya tekanan dan suhu mempengaruhi jenis atau komposisi
kimia magma primitif. Tiga parameter ini menyebabkan gunungapi-gunungapi
di Indonesia mempunyai magma yang komposisinya berbeda satu sama lain.
Magma primitif akan bermigrasi menuju permukaan yang digerakan oleh
energi permukaan dari cairan hasil lelehan, faktor gravitasi dan efek
tektonik. Dalam proses migrasi magma sistim tektonik termasuk evolusinya
merupakan faktor penting. Aktivitas tektonik menghasilkan zona lemah
yang memberi kemudahan bagi magma untuk menerobos mencapai permukaan
menjamin kontinuitas suplai magma. Konstelasi tektonik ini juga yang
memungkinkan, dua gunung yang berdekatan bisa berbeda keadaannya,
misalnya yang satu "mati", yang lain sangat aktif. Erupsi
Merapi terjadi relatif sering hal ini ditengarai karena faktor geometri
internal system vulkanis. Dari data kegempaan Merapi, tahun 1991 yang
kaya gempa vulkanik dari berbagai jenis terlihat bahwa distribusi gempa
Merapi lateral tidak jauh dari garis vertikal puncak Merapi ke bawah dan
tidak tersebar luas. Pada kedalaman 1.5 - 2 km di bawah puncak tidak
dijumpai adanya hiposenter gempa, demikian pula pada kedalaman >5 km.
Gempa volkano-tektonik (VT) memerlukan medium yang solid dan bisa patah
(brittle) sehingga zona-zona tidak terdapat hiposenter dianggap zona
yang lembek (duktil) karena pengaruh suhu tinggi magma.
Dalam
proses perjalanan menuju ke permukaan magma memasuki zona tampungan
magma, dapat disebut sebagai kantong magma atau dapur magma bila
ukurannya lebih besar. Di Merapi terdapat dua zona tampungan magma yang
menentukan sifat khas Merapi. Karena letaknya relatif tidak jauh maka
kenaikan tekanan di dapur magma akan menyebabkan aliran magma menuju
kantong magma di atasnya menyebabkan naiknya tekanan di sana. Dalam hal
ini kantong magma berfungsi sebagai katup bagi magma yang naik ke
permukaan. Waktu tenang antar erupsi di Merapi merupakan fase dimana
terjadi proses peningkatan tekanan magma di dalam kantong magma. Apabila
tekanan melebihi batas ambang tertentu magma akan keluar dalam bentuk
erupsi explosive atau efusif berupa pembentukan kubah lava. Volume
produk yang dikeluarkan kira-kira sebesar 0.1% dari volume kantong/dapur
magma. Produk erupsi Merapi rata-rata 10 juta m3 dalam suatu erupsi,
bahkan sering di bawah 4 juta m3 yang artinya volume kantong magma
relative kecil. Sangat kecil bila dibandingkan dengan Kilauea dan
Reunion yang dalam sekali fase erupsi mengeluarkan masing–masing
>40 juta m3 dan 100 juta m3 lava. Kantong magma dangkal di Merapi
menyebabkan hanya dengan peningkatan tekanan yang tidak terlalu besar
sudah dapat mengalirkan magma cukup lancar sampai permukaan tanpa perlu
waktu panjang.
Gambar
di atas menunjukkan penampang skematik dari struktur geometri internal
Merapi. Dimensi kantong magma (atas) dan dapur magma (bawah) adalah
perkiraan.
TIPE ERUPSI
Erupsi
adalah peristiwa keluarnya magma di permukaan bumi bisa dalam bentuk
yang berbeda-beda untuk setiap gunungapi. Erupsi bisa efusif yaitu lava
keluar secara perlahan dan mengalir tanpa diikuti dengan suatu ledakan
atau eksplosif yaitu magma keluar dari gunungapi dalam bentuk ledakan.
Dalam erupsi yang eksplosif, terbentuk endapan piroklastik, sedang dalam
erupsi efusif terbentuk aliran lava. Secara garis besar ada tiga
tipe/jenis erupsi yaitu: Hawaiian, Strombolian dan Vulkanian. Istilah
tipe hawaiian diambil dari kata Hawaii, pulau vulkanik di tengah
samudera Pasifik yang mempunyai gunung dengan tipe erupsi khas hawaiian.
Dinamika erupsi tipe hawaiian dicirikan dengan adanya erupsi lava cair
berasal dari kawah dalam waktu cukup lama. Lava yang membentuk erupsi
tipe hawaiian ini berjenis basalt. Dari bentuk fisiknya, gunung yang
bertipe erupsi hawaiian mempunyai bentuk perisai, dalam arti bahwa diam
tubuh gunung jauh lebih besar dari tinggi gunung.
Istilah
tipe strombolian diambil dari kata Stromboli, nama gunungapi di pulau
Stromboli Italia yang terletak di Laut Thyrene, Mediterania. Erupsi
jenis strombolian dicirikan dengan erupsi-erupsi kecil dari gas dan
fragmen-fragmen atau serpihan magma. Material yang diletuskan jatuh
kembali ke dalam kawah atau di sekitar bibir kawah. Pada saat terjadi
erupsi yang lebih besar, lava mengalir ke lereng di sekitarnya. Secara
umum suatu gunungapi disebut bertipe strombolian apabila dalam suatu
erupsi material padat yang terhamburkan kurang lebih setara dengan
material yang mengalir sebagai aliran lava. Gunungapi tipe strombolian
mempunyai kawah, biasanya berbentuk lingkaran. Tubuh dan lereng gunung
tersusun dari batuan skoria hasil lontaran saat erupsi.
Istilah
tipe vulkanian berasal dari nama gunung Vulcano yang terletak di
kepulauan Lipar Italia. Erupsi bersifat eksplosif dengan tingkat
eksplosivitas dari lemah ke katastropik. Magma yang membentuk erupsi
tipe vulkanian bersifat antara basa dan asam (dari andesit ke dasit).
Erupsi vulkanian terjad karena lobang kepundan tertutup oleh sumbat lava
atau magma yang membeku di pipa magma setelah kejadian erupsi.
Diperlukan suatu akumulasi tekanan yang relatif besar untuk membuka
lobang kepundan atau menghancurkan sumbat lava. Erupsi melontarkan
material hancuran dari puncak gunungap tapi juga material baru dari
magma yang keluar. Salah satu ciri dari erupsi vulkanian yaitu adanya
asap erupsi yang membumbung tinggi ke atas dan kemudian asap tersebut
melebar menyerupai cendawan. Asap erupsi membawa abu dan pasir yang
kemudian akan turun sebagai hujan abu dan pasir. Tidak seperti tipe
hawaiian dan strombolian, aliran lava tidak terjadi pada tipe erupsi
vulkanian. Gunung Merapi merupakan gunungapi yang dapat dimasukkan dalam
tipe vulkanian lemah dengan ciri khas adanya peranan kubah lava dalam
tiap-tiap erupsinya.
KUBAH LAVA
Magma
yang sudah sampai di permukaan dapat mengalir turun ke lereng atau
langsung membeku di puncak. Untuk lava yang bersifat sangat cair proses
pembekuan di permukaan berjalan lambat dan endapannya dikenal sebagai
"lava flow" atau "coulee" umumnya lava basalt mempunyai perilaku itu.
Volume dan kekentalan menentukan jarak jangkau aliran lava yang
bervariasi dari antara 3 sampai 25 km dan dapat mencapai lebih dari 100
km. Lava kental (trakitik atau riolitik), jarak jangkau alirannya tidak
lebih dari 2-3 km dengan ketebalan 100-an m.
Pada
gunungapi dengan magma yang cukup kental, lava membentuk apa yang
disebut "lava block", bongkahan lava dengan permukaan tidak teratur.
Dalam posisi tertentu, apabila kecepatan keluarnya lava cukup lambat,
lava dapat langsung tertumpuk di permukaan kemudian membeku membentuk
kubah lava atau "dome". Dapat dililiat bahwa antara kekentalan lava dan
sifat alirannya ada hubungannya yaitu aliran yang sangat encer dengan
jarak jangkau yang panjang dengan ketebalan kecil, sampai aliran sangat
kental dengan jarak jangkau pendek, bahkan hanya berupa kubah dengan
ketebalan yang besar. Lava yang sangat kental dapat membeku begitu
sampai permukaan membentuk "sumbat lava".
Aliran
lava Merapi menempati posisi transisi antara aliran lava fluida dan
pembentukan sumbat lava. Apabila lava keluar dan menempati suatu posisi
yang miring, misalnya di pinggir kawah utama, lava akan membentuk "lidah
lava" karena proses aliran lava sangat pelan yang kemudian cepat
membeku. Apabila lava keluar pada permukaan yang datar, kubah lava
Merapi akan berbentuk tempurung terbalik dengan sisi-sisi yang relatif
simetris. Kubah lava mempunyai bentuk yang khas yaitu simetris
dinyatakan sebagai relasi antara tinggi kubah dan jari-jari kubah.
Relasi tersebut tetap dan tidak tergantung dari volume kubah yang
terbentuk. Dari data foto kubah yang terbentuk pada bulan Januari 1992,
kubah Merapi mempunyai relasi tinggi (H) dan jari-jari dasar (R) = 4.8.
Semakin kental magma semakin besar nilai relasi H/R. Pada proses
pembentukan lidah lava, ketinggian kubah bertambah secara perlahan
contohnya pada 1994, saat panjang kubah berkembang dari 300 m menjadi
sekitar 460 m, tinggi kubah hanya bertambah dari 32 m menjadi 47 m.
Perkembangan panjang kubah lebih cepat sekitar 10 kali lipat dari
perkembangan tinggi kubah.
Pembentukan
kubah lava Merapi terjadi dalam laju yang bervariasi. Dalam masa krisis
atau biasanya dalam beberapa bulan sesudah terjadi letusan, arus
keluarnya lava cukup lancar dan pembentukan kubah lava terjadi dalam
laju yang cepat. Dalam beberapa kasus, pertumbuhan kubah lava terjadi
secara perlahan. Sebagai contoh pada periode Maret-April 1994,
pertumbuhan terjadi secara lambat dengan laju keluar lava sebesar 6.500
m3 per hari. Pada periode Mei-Juni 1994, pertumbuhan terjadi lebih cepat
dengan laju keluar lava sebesar 17.000 m3 per hari. Laju keluar lava
Merapi dalam pembentukan kubah lava selama ini, sejauh pernah teramati,
tidak pernah melebihi 20.000 m3 per hari.
Kubah
lava Merapi, yang berbentuk lidah lava maupun kubah simetris, mempunyai
bagian luar (kulit) berwarna hitam yang keras tersusun dari batuan lava
beku disebut kerak dengan tebal 1 -2 m. Apabila terbuka lava terlihat
masih merah membara. Bagian dalam bersifat sedikit liat dengan suhu yang
tinggi menunjukan masih terjadi suplai magma baru dan akan terjadi
proses deformasi kubah lava. Apabila tidak ada suplai baru, lama
kelamaan kubah akan membeku seluruhnya dan proses perubahan bentuknya
terhenti.
Proses
deformasi kubah merupakan proses perubahan bentuk kubah karena ada
tambahan lava atau proses "mengalir" dari lava di dalamnya. Pada lava
Merapi proses pembentukan lidah terjadi karena bagian dalam kubah masih
Liat. Magma yang masih liat cenderung bergerak sehingga menambah panjang
lidah lava. Pada saat bergerak, kulit atau kerak kubah mengalami
perubahan morfologi karena ada aliran di dalamnya. Kadangkadang teramati
juga bahwa morfologi kubah tidak berubah banyak tetapi panjang kubah
bertambah. Pada saat ekor kubah (bagian ujung bawah lidah kubah) membeku
maka proses perkembangan panjang kubah berhenti. Pada saat tersebut
tinggi kubah pada bagian atasnya akan bertambah karena magma yang terus
keluar secara perlahan. Pada fase awal pembentukan kubah (lidah lava)
perubahan bentuk kubah hanya berupa pertambahan panjangnya dan tinggi
kubah tidak akan berubah. Proses dalam fase awal ini dapat berjalan
beberapa bulan. Fase berikutnya yaitu panjang dan tinggi kubah
bertambah. Fase ketiga yaitu tinggi kubah bertambah tapi panjangnya
tetap.
Perkembangan
tinggi kubah tidak akan berlangsung terus menerus dengan laju yang sama
walaupun suplai magma terus bertambah. Dapat dibayangkan bahwa pada
saat kubah bertambah tingginya, tekanan litostatik didasar kubah juga
bertambah demikian sehingga magma juga harus melakukan usaha yang lebih
besar untuk mengangkat kubah di atasnya. Itulah sebabnya, semakin lama
pertambahan tinggi kubah semakin lambat. Pada fase ini tubuh kubah
cenderung akan lebih gemuk karena magma/lava akan cenderung menekan ke
sisi-sisi sampingnya. Pada suatu saat tercapai ketinggian tertentu, di
mana pada dasar kubah bekerja tekanan lithostatik material kubah yang
setara dengan tekanan magma yang berada di bawah kubah. Pada situasi
tersebut pertumbuhan kubah akan berhenti. Uraian ini berarti bahwa pada
saat perkembangan kubah berhenti bukan berarti suplai magma yang keluar
terhenti, hanya saja ada kemungkinan tekanan magma tidak cukup lagi
mampu meningkatkan besarnya kubah.
Fase
kritis dalam hubungannya dengan bahaya gugurnya kubah terjadi pada saat
perkembangan kubah melambat dan tinggi kubah tidak bertambah lagi. Pada
fase ini tekanan dari bawah akan terkumulasi. Apabila proses akumulasi
cepat, maka pada saat tertentu tekanan litostatik tidak dapat lagi
menahan tekanan dari bawah yang dapat mengakibatkan gugurnya kubah.
Begitu kubah gugur maka tekanan magma yang semula terimbangi oleh
tekanan litostatik tubuh kubah secara mendadak kehilangan tekanan
penahannya sehingga terjadi letusan. Apabila fase kritis tersebut
terlewati, maka kubah akan membeku dan kubah menjadi cukup kuat untuk
menahan laju keluarnya magma baru. Maka proses berikutnya adalah bahwa
magma akan mencari jalan keluar baru yang biasanya disamping kubah yang
telah terbentuk.
Kubah
yang sudah membeku dapat gugur, sebagaimana yang terjadi pada kubah
lava yang terbentuk tahun 1957 telah gugur karena terdesak oleh magma
yang keluar pada menjelang letusan tahun 1998. Desakan magma dari bawah
merupakan faktor yang penting untuk menggugurkan sebuah kubah lava yang
telah beku (= tidak aktif lagi). Proses yang teramati di Merapi yaitu
bahwa magma dapat terpaksa menerobos keluar dengan mendesak kubah lava
yang di atasnya apabila kawah memang sudah penuh oleh material lava.
Dalam mencari jalan keluar, kubah lava lama dapat menjadi titik-titik
lemah bagi keluarnya magma baru ke permukaan.
Pengaruh
hujan besar artinya bagi kestabilan kubah lava. Hal ini berlaku hanya
pada kubah lava aktif. Sedangkan untuk kubah lama, intensitas curah
hujan yang tinggi hanya akan mengkikis permukaannya atau kalaupun sampai
merontokkan kubah, proses runtuhnya kubah akan berlangsung mulai dari
permukaan. Lain halnya untuk kubah lava aktif, air hujan yang meresap
masuk ke dalam kubah lava akan menemui suhu kubah yang tinggi dan segera
berubah menjadi uap dengan tekanan yang tinggi. Tekanan uap air
tersebut mengurangi daya ikat antara material di dalam kubah yang dapat
mempermudah terjadinya longsoran. Berbeda dengan pengaruh hujan pada
kubah lava lama, pada kubah aktif hujan menyebabkan longsoran yang
prosesnya berlangsung dari dalam kubah. Kejadian longsoran kubah aktif
semacam ini tidak perlu didahului oleh munculnya gempa-gempa karena
semua proses terjadi di bagian permukaan dan dapat berlangsung secara
cepat.
Faktor
lain yang mempengaruhi kestabilan kubah adalah gravitasi. Hampir
seluruh kubah lava di puncak Merapi berbentuk kubah lava. Tubuh kubah
terutama 2/3 bagian ke bawah menempel pada lereng dengan kemiringan
sekitar 380. Kubah tidak meluncur ke bawah karena tubuhnya terikat oleh
yang 1/3 bagian atas, yang biasanya tidak pada posisi miring, dan oleh
gaya gesek antara kubah dan lereng. Gaya yang mendorong kubah untuk
longsor adalah komponen gaya dari beratnya sendiri yang sejajar dengan
lereng. Apabila kubah masih berkembang komponen gaya berat tersebut akan
dapat menjadi besar dan dapat melebihi gaya gesek lereng sehingga
longsoran dapat terjadi. Untuk kubah yang tidak berkembang lagi, atau
sudah diam beberapa bulan lamanya, apabila tidak terjadi hujan dan tidak
ada dorongan dari magma dari dalam maka tidak terjadi longsoran kubah.
Hal ini berarti bahwa faktor gravitasi secara sendirian tidak
berpengaruh banyak dalam longsoran kubah.
Sketsa
karakteristik pembentukan kubah dan proses terjadinya awanpanas.
Perbandingan antara kejadian tahun 1992 dan tahun 1994
(Ratdomopurbo,2000).
AWANPANAS
Istilah
awanpanas dipakai untuk menyebut aliran suspensi dari batu, kerikil,
abu, pasir dalam suatu masa gas vulkanik panas yang keluar dari
gunungapi dan mengalir turun mengikuti lerengnya dengan kecepatan bisa
lebih dari 100 km per jam sejauh puluhan km. Aliran turbulen tersebut
dari jauh tampak seperti awan bergulung-gulung menuruni lereng gunungapi
dan bila terjadi malam hari terlihat membara. Awanpanas biasanya tidak
segemuruh longsoran biasa karena tingginya tekanan gas pada material
menyebabkan benturan antar batu-batu atau material di dalam awanpanas
tidak terjadi dengan kata lain benturan teredam oleh gas. Penduduk
sekitar Merapi menyebut awanpanas sebagai wedhus gembel dalam bahasa
Jawa berarti domba karena secara visual kenampakan awanpanas seperti
domba-domba menyusuri lereng. Istilah ini diperkirakan telah dipakai
sejak berabad-abad oleh penduduk setempat (lebih tua dari pada istilah
nuee-ardente).
Awanpanas
Merapi dibedakan atas awanpanas letusan dan awanpanas guguran. Awan
panas letusan terjadi karena hancuran magma oleh suatu letusan.
Partikel-partikel terlempar secara vertical dan horizontal. Kekuatan
penghancuran material magma saat letusan ditentukan oleh kandungan gas
vulkanik dalam magma. Awanpanas guguran terjadi akibat runtuhnya kubah
lava bersuhu sekitar 500-600°C oleh tekanan magma dan pengaruh
gravitasi. Proses awal yang memicu longsornya kubah dapat di timbulkan
oleh tiga sebab :
1.
Longsor biasa yang sebagaimana sering terjadi di daerah lereng-lereng
pegunungan. Peranan hujan menjadi faktor utama yang menimbulkan
ketidakstabilan. Di daerah lereng pegunungan air hujan masuk dalam
struktur tanah dan memperkecil gaya gesek pada bidang gelincir sehingga
tidak dapat lagi menahan berat lereng. Dalam hal kubah lava Gunung
Merapi, air hujan yang masuk ke dalam kubah lava mengalami pemanasan
sehingga menjadi gas yang bertekanan cukup tinggi untuk mengganggu
kestabilan kubah. Kohesi material penyusun tubuh kubah lava mengecil
sehingga mudah muncul longsoran kecil maupun besar.
2.
Longsoran dipicu oleh suatu letusan kecil (lokal) yang terjadi di kubah
lava. Gas bertekanan tinggi dalam kubah lava dapat memicu terjadinya
letusan kecil setempat yang terjadi di permukaan kubah lava. Tekanan
yang dilepaskan secara mendadak dapat mengganggu kestabilan kubah secara
keseluruhan sehingga kubah dapat mengalami longsoran besar.
3.
Longsornya kubah dapat pula karena adanya dorongan dari bawah yaitu
dari pipa magma gunungapi sehingga kubah lava bergeser dan akhirnya
longsor. Karena adanya faktor gravitasi, tekanan dari bawah yang tidak
terlalu besar sudah cukup untuk mengganggu kestabilan kubah.
Karena
awanpanas jenis ini terbentuk terutama karena pembongkaran kubah lava
yang sudah ada sebelumnya oleh proses gravitasi, fragmen penyusun awan
panasnya relatif besar. Demikian pula kekuatan luncurnya terutama hanya
oleh beratnya sendiri sehingga jangkauan atau jarak luncurnya tidak
begitu besar. Kecenderungan arah luncuran masa awanpanas ditentukan oleh
arah aliran-aliran hulu sungai di lereng gunungapi yang berada di bawah
posisi kubah lava yang terluncurkan. Material beratnya akan meluncur di
dalam alur sungai, sedangkan awan yang kelihatan bergulung-gulung akan
menyelimuti aliran masa awan panas dan melebar ke tepian alur hulu
sungai di kiri kanan dari alur tersebut. Jarak jangkau awanpanas
ditentukan oleh kecepatan alirnya yang tergantung pada morfologi dan
kelerengan/ gradien alur lembah sungai.
Kekuatan
awanpanas dalam membawa material berukuran besar dan bongkahan
bongkahan merupakan ciri utama dari alirannya. Endapan awanpanas
tersusun dari dua bagian, yaitu bagian bawah, beberapa meter atau
puluhan meter tebalnya, biasanya di dasar lembah sungai terdiri dari
material berbutir kasar. Bagian atas terdiri dari endapan material abu.
Menurut Fisher & Schmincke (1984), endapan awanpanas bervariasi dan
mencerminkan berbagai tipe letusan dan pengendapan. Kejadian letusan
awanpanas itu sendiri dapat menghasilkan asosiasi endapan awanpanas dan
piroklastik surge atau hanya awanpanas atau piroklastik surge saja.
Perbedaan dari dua jenis endapan ini terlihat dari pemilahan dan
struktur endapannya. Endapan awanpanas terpilah buruk dan masif
sedangkan piroklastik surge mempunyai pemilahan butir yang lebih baik,
berukuran lebih halus dan memiliki struktur lapisan. Proses pengendapan
awanpanas terjadi pada dasar lembah dan menjauh dari sumber endapannya
akan menebal.
Awanpanas
yang terjadi di Gunung Merapi umumnya termasuk dalam awan panas
guguran. Gaya berat kubah lava atau bagian dari kubah lava yang runtuh
menentukan laju dari awan panas. Semakin besar volume yang runtuh akan
semakin cepat laju awanpanas dan semakin jauh jarak jangkaunya. Pada
umumnya kubah lava yang terbentuk di puncak berbentuk memanjang menjulur
ke arah lerengnya. Orientasi dari kubah lava ini yang menentukan arah
awanpanas yang akan terjadi. Namun demikian kubah lava di puncak Merapi
tidak tunggal dalam arti ada banyak kubah lava yang tidak runtuh dan
kemudian menjadi bagian dari morfologi puncak gunung Merapi. Ada
kecenderungan bahwa kubah lava yang lebih baru lebih tidak stabil
dibanding kubah lava yang lebih dulu terbentuk. Kestabilan kubah lava
juga sangat tergantung dari keadaan dasar kawah di mana suatu kubah
terbentuk.
Suhu
awan panas dipelajari dengan menganalisa arang kayu dari pepohonan yang
terlanda awanpanas dan kemudian terbenam dalam endapan awanpanas.
Pengambilan contoh arang dilakukan dari endapan awanpanas yang ada,
terutama pada endapan tua. Suhu awanpanas Gunung Merapi, dibandingkan
dengan awanpanas dari gunung lain dengan letusan yang lebih besar, tidak
begitu tinggi. Dari analisa diperoleh data bahwa suhu awanpanas Merapi
hanya sekitar 250°C. Walaupun data ini baru dari contoh yang terbatas,
hasil ini menunjukkan bahwa suhu awanpanas Merapi minimal 250°C.
EVOLUSI ERUPSI
Kronologi Hartman
Bagaimana
kronologi suatu aktivitas letusan Merapi telah disimpulkan oleh Hartman
(1935). Tiap letusan dibagi menjadi 3 fase yaitu fase awal atau keadaan
sebelum meletus, fase utama yaitu aktivitas utama dan fase akhir yaitu
kegiatan yang terjadi sesudah letusan berakhir. Ketiga fase tersebut
merupakan atau dianggap sebagai satu siklus aktivitas letusan Merapi.
Berdasarkan apa yang terjadi pada fase awal, utama dan akhir, Hartman
membedakan kronologi letusan menjadi empat sebagai berikut :
Kronologi
A : Siklus diawali dengan satu letusan kecil yang mengawali ekstrusi
lava. Fase utama berupa pembentukan kubah lava sampai kubah mencapai
volume besar dan kemudian perkumbuhan kubah berhenti. Siklus diakhiri
dengan proses guguran lava pijar yang berasal dari kubah. Kejadian
guguran lava pijar, kadang dengan awanpanas kecil, dapat berlangsung
lama (bulanan).
Kronologi
B: Dalam kronologi B ini, pada awalnya telah ada kubah lava di puncak
Merapi. Fase utama berupa letusan vulkanian bersumber di kubah lava dan
menghancurkan kubah lava yang ada. Letusan menghasilkan asap letusan
vulkanian (contoh: asap cendawan letusan 1997). Material kubah yang
hancur sebagian menjadi awanpanas yang menyertai letusan vulkanian
tersebut. Fase akhir diisi dengan pertumbuhan lava baru pada bagian
kubah yang hancur atau disamping kubah.
Kronologi
C: mirip dengan kronologi B, hanya saja pada awalnya tidak terdapat
kubah lava tetapi sumbat lava yang menutup kawah Merapi. Oleh adanya
sumbat lava tersebut, fase utama berupa letusan vulkanian dengan
awanpanas lebih besar (type St. Vincent ?). Fase akhir dari kronologi
letusan yaitu berupa pembentukan kubah lava baru.
Kronologi
D:Fase awal berupa letusan vertikal kecil. Fase utama berupa
pembentukan sumbat lava yang kemudian diikuti dengan fase akhir berupa
letusan vertikal yang cukup signifikan. Pada letusan "D" ini, karena
sumbat lava cukup besar, letusan cukup dahsyat, relatif untuk Merapi,
yang menghasilkan awanpanas besar dan asap letusan tinggi.
Dalam
kenyataan, terutama dari pemantauan aktivitas letusan dengan lebih
seksama sejak tahun 1984, batas-batas antara jenis kronologi letusan
sebagaimana yang disajikan Hartman di atas sering tidak jelas. Sebagai
contoh, letusan 1984 fase awal berupa kejadian awanpanas yang kemudian
langsung disusul dengan letusan. Pada fase akhir terjadi guguran lava
pijar. Contoh letusan 1984 ini menjadi gabungan dari kronologi A dan B.
Kejadian longsoran kubah yang terjadi pada tahun 1994 sulitjuga
dimasukkan dalam kronologi Hartman walaupun longsoran juga menghasilkan
awanpanas dan letusan.
Kronologi
erupsi menurut Hartmann (1935) dibedakan atas empat macam dari yang
dianggap paling lemah D sampai kuat A. Kolom kiri menunjukkan saat awal
sebelum kejadian utama. Kolom tengah adalah kejadian utama dan kolom
kanan adalah kejadian yang mengkhiri siklus aktivitas erupsi.
Kronologi
Hartman paling tidak memberikan gambaran pada pentingnya peranan kubah
lava dalam setiap aktivitas Merapi. Dan dari penelitian geologi
diperoleh hasil bahwa pada perioda Merapi Baru, terutama dalam 600 tahun
terakhir, aktivitas Merapi didominasi oleh pembentukan kubah lava dan
letusan-letusan kecil yang tidak lebih dari VEI 3 yang disertai
awanpanas. Produk dari kejadian letusan-letusan tersebut, bila diltinjau
dari pembagian kelompok endapan (Andreastuti, 1999), maka endapan yang
terbentuk dapat digolongkan dalam kelompok 1, dan menghasilkan lava,
awanpanas atau surge; dan kelompok 2 yang terutama terdiri dari asosiasi
endapan awanpanas dan surge.
Endapan
hasil letusan yang sekarang meskipun cukup tebal (mencapai 8m), namun
karena merupakan endapan awanpanas yang sebarannya di lembah-lembah,
maka letusanya relatif kecil. Sedangkan letusan pra-1800, karena
hasilnya berupa endapan jatuhan yang ketebalannya dan merata di sekitar
gunung, maka letusannya lebih besar. Letusan yang menghasilkan awanpanas
tekanan internal dari magma lebih kecil daripada letusan yang
menghasilkan endapan jatuhan.
Studi
stratigrafi (Andreastuti,1999) yang dilakukan pada tephra Merapi telah
memberikan gambaran yang lebih jelas tentang aktivitas letusan Merapi.
Letusan yang tercatat dalam sejarah, pada umumnya hanya berupa letusan
kecil yang terpusat di puncak. Awanpanas dari bongkaran kubah menjadi
ciri utama aktivitas Merapi saat ini. Namun demikian dalam jangka yang
lebih panjang analisa stratigrafi menunjukkan bahwa Merapi juga
menghasilkan letusan-letusan yang besar. Andreastuti (1999) membagi
kurun waktu aktivitas Merapi menjadi 3 episode yaitu Episode I
(2990-1960 BP), Episode II (1960-780 BP) dan Episode III (780 BP
sekarang). Letusan Merapi saat itu digolongkan dalam type plinian
(sangat explosif). Dari indentifikasi ditemukan bahwa dalam kurun waktu
3000 tahun terakhir terdapat sejumlah 7 letusan skala besar (skala VEI
4, plinian dan subplinian). Sebagai ilustrasi seberapa besar letusan
tersebut, misalnya pada letusan yang menghasilkan tephra di Selokopo,
sekitar 500 BP, terjadi letusan dengan kolom asap letusan yang
diperkirakan setinggi 15 kilometer di atas puncak dan dengan volume
material yang diletuskan sebesar 0.26 km3 (260 juta m3, bandingkan
dengan produk letusan 1998 yang hanya 8 juta m3). Dalam jangka panjang
perubahan trend letusan Merapi dimungkinkan oleh adanya perubahan
komposisi kimia magmanya. Pada Episode I, magma Merapi mempunyai
komposisi medium-K (1.3-2.0%), sedangkan pada Episode Ill mempunyai
komposisi high-K (2.0 - 2.5 %). Episode II merupakan episode transisi
dari medium-K ke high-K. Dari kandungan Si02 nya, walaupun terdapat
fluktuasi komposisi Si02 antara 51 % sampai 57 %, terdapat kecenderungan
jangka panjang bahwa komposisi Si02 semakin besar. Kemungkinan letusan
Merapi yang lebih besar dapat terjadi oleh adanya perubahan kandungan
air (H20) dalam magma dan proses kristalisasi yang terjadi di dapur
magma (del Marmol, 1989). Proses kristalisasi dan kandungan air yang
tinggi menghasilkan unsur volatile yang merupakan sumber dari
peningkatan tekanan dalam magma.
PREKURSOR
Gunungapi
sebelum erupsi, biasanya menunjukkan tanda-tanda perubahan fisika dan
kimiawi yang bisa dirasakan dengan panca indera manusia atau hanya dapat
dideteksi dengan instrumen yang sangat peka. Secara umum beberapa
tanda-tanda tersebut adalah berubahnya warna asap menjadi semakin tebal
dan pekat, meningkatnya jumlah gempa-gempa yang terekam oleh seismogram,
berubahnya komposisi kimia gas atau air, meningkatnya derajat suhu
kawah dan terjadinya deformasi tubuh gunungapi.
Prekursor
adalah gejala awal sebelum erupsi. Gejala tersebut dimulai dari
kedalaman dimana sumber magma segar berasal yang akan mendorong magma
yang sudah lebih dulu mengisi kantong dan pipa saluran. Bertambahnya
pasokan magma ini akan meningkatkan tekanan di dalam kantong magma dan
pipa saluran kepundan yang dapat menyebabkan retaknya batuan di
sekelilingnya. Naiknya magma ke atas akan menurunkan tekanan internal
magma sebagai akibatnya gas vulkanik yang bersifat volatil akan lepas
dan menambah tekanan ke batuan di sekelilingnya.
Naiknya
tekanan ini mengakibatkan retakan batuan yang akan menjalarkan energi
gelombang elastik yang disebut dengan gempa vulkanik. Jenis gempa ini
yang biasanya hanya dapat dideteksi oleh seismom. Gempa vulkanik di
Merapi dimulai pada kedalaman antara 2 sampai 5 km yang menandai awal
peningkatan aktivitas vulkanik. Selanjutnya sumber gempa akan semakin
dangkal hanya kurang 2 km di bawah puncak.
Proses
berjalannya magma ke permukaan sebelum terjadinya suatu erupsi
menimbulkan getaran yang menyebabkan terjadinya yang biasa disebut
tremor. Namun di Merapi termor tidak selalu terjadi sebelum erupsi.
Seiiring peningkatan tekanan dan desakan magma dari dalam maka tubuh
gunungapi menggelembung dalam orde yang sangat kecil yang sering disebut
deformasi. Perubahan deformasi dapat dipantau dengan berbagai teknik
geodetik atau menggunakan tiltmeter dan ekstensometer. Pada proses
menuju erupsi ini terjadi pula peningkatan emisis gas vulkanik misalnya
SO2 ke permukaan. Gejala-gejala tersebut di atas dapat dipantau dengan
berbagai macam metoda dan instrumentasi dan disebut sebagai gejala awal
atau prekursor aktivitas Gunung Merapi.
Grafik prekursor erupsi khas Merapi berdasarkan data pemantauan 2006. Grafik ini menunjukkan bagaimana pola dari variasi parameter pemantauan yang muncul sebelum erupsi. Pola yang cukup jelas terliliat sampai munculnya kubah lava pertama kali (perlu diingat bahwa definisi erupsi secara vulkanologis adalah munculnya lava di permukaan). Penjelasan dan pola prekursor Merapi lebih rinci dapat dililiat pada buku prekursor Merapi.
Contoh
lain prekursor Merapi sebelum erupsi 1997 dan 1998 berdasarkan data
perbandingan antara seismisitas, GPS, tilt dan volume kubah dalam
periode aktivitas 1996 sampai 1999. Angka romawi menunjukkan periode
dimana aktivitas Merapi mempunyai karakteristik berbeda secara kegempaan
dan deformasi. Periode I menunjukkan kenaikan nilai tilt dan volume
kubah yang disertai dengan banyaknya kejadian gempa vulkanik, MP dan
guguran. Periode II gempa MP menghilang samasekali tetapi guguran masih
cukup banyak dan nilai tilt serta kubah tumbuh lebih cepat. Periode III
diawali dengan naiknya jumlah gempa MP sebelum erupsi 1997 yang diikuti
penurunan jumlah gempa MP dan Guguran. Periode IV relatif tenang di
permukaan yang ditunjukkan oleh jumlah gempa MP dan guguran yang sedikit
tapi di dalam gejolak cukup tinggi yang ditunjukkan oleh banyaknya
kejadian gempa vulkanik. Periode V seperti mengulangi periode kejadian
sebelum erupsi 1997 yaitu naiknya jumlah MP sebelum erupsi yang dikuti
oleh anjloknya volume kubah. Periode VI pada awal 1999 ditunjukkan oleh
stabilnya volume kubah dan sedikitnya gempa namun periode ini hanya
bertahan kurang dari 2 tahun sebelum erupsi kembali terjadi pada 2001.
Data GPS menunjukkan titik NTR0 yang terletak di puncak mempunyai
magnitude perpindahan terbesar yang mengindikasikan bahwa titik ini
terletak pada zone yang lemah.